SALAM JUMPA
Selamat datang di blog puisiku ya... tapi sebenarnya nggak hanya puisi, di sini kamu bisa baca juga cerpen-cerpenku. Pokoknya semua yang bernada curahan hati....Sebagian besar cerita dan puisi melukiskan perjalanan hidupku...Yach, daripada disimpan, mendingan ditulis, biar nggak lupa/hilang. Selamat membaca ya, jangan nangis loh hik hik hik.... :) Boleh di CoPas, tapi kalau untuk tujuan komersil, izin dulu ya...
29 November 2008
PELARIAN
Kuputuskan untuk berlari
Menghindarimu sejauh mungkin
Tak kan kukantongi senyummu
Atau kusimpan dalam diaryku
Aku akan berlari tanpa kata-kata
Tanpa kenangan atau kerinduan
Aku telah menguburnya semalam
Dalam gurat-gurat pergumulanku
Air mataku telah mengakhiri segala hasrat
Sekarang
Yang kutahu aku bukan milik siapa-siapa
Dan tak kubiarkan seseorang
Benar-benar memilikiku
Sebab aku kuatir ada luka lagi
Pada hati penuh luka
Aku kuatir tak lagi mampu
Bedakan rindu dan kebencian
Apa kasih dan kekecewaan
Pada batas akhir langkah satu saja kuharap
Barangkali masih bisa kupungut
Sebuah senyum yang tercecer…
BATU KARANG DAN PULAU
Aku adalah sebuah batu karang
Aku adalah sebuah pulau
Aku telah mendirikan tembok-tembok
Sebuah benteng yang kokoh dan kuat
Hingga tak seorang pun dapat menembus
Aku tak membutuhkan persahabatan
Persahabatan melahirkan kepedihan
Aku muak dengan tawa dan gelaknya
Aku adalah sebuah batu karang
Aku adalah sebuah pulau
Jangan bicara tentang cinta kasih
Aku sudah sering mendengarnya dulu
Sudah terkubur dalam benakku
Aku tak mau mengganggu perasaanku yang telah mati
Seandainya aku tak pernah mengasihi
Aku tidak akan pernah menangis
Aku adalah sebuah batu karang
Aku adalah sebuah pulau
Aku punya banyak buku dan puisi-puisi
Yang siap menemaniku
Aku terlindung
Tersembunyi dalam kamar
Aman dalam kesendirianku
Aku tak menyentuh siapa pun
Dan tak seorangpun menyentuhku
Aku adalah sebuah batu karang
Aku adalah sebuah pulau
Sebuah batu karang tidak pernah merasa sakit
Dan sebuah pulau tidak pernah menangis
BUNGA BUNGA KAMBOJA
Kudesahkan untaian sepi
Pada waktu yang makin panas
Terlalu lugas rerajut rinduku membaur
Kutatap gumpalan awan berarak
Menyumbat hasrat diri yang pernah kuat
Pergantian musim kembali menggores luka
Akankah kau hadir bila sukmaku memecah
Mungkin akan kulagukan sayonara
Bagi keakraban kita
Kulihat telah berguguran bunga-bunga kamboja
Untuk apa kemarin kita bergandengan tangan
Kalau akhirnya
Kita tega saling menenggelamkan
PERPISAHAN I
Berakhir sudah bayangmu
Panorama senja pelabuhan kita
tinggal nostalgia
Tak perlu kita tangisi air mata beku
Karna pada awalnya
Bumi yang menumbuhkan
Lalu bumi pula yang merampas
Suasana kembali wajar dan prasaja
Netral sudah pesonamu
menggores sejarah diri
Pengembaraan kita sudah berakhir
Dalam pelabuhan kesederhanaan
PERPISAHAN II
Kalau kau yang kukenang mudah memalingkan
Karna telah datang bintang yang lebih indah
Baiklah aku berangkat saja darimu
Tempat aku berpijak selama ini
Hanya membakar cemburuku terus menerus
Lantaran aku tak pernah mengerti
Bagaimana harus membahagiakanmu
Maka kalau aku terdiam
Bukan lantaran tak ada lagi ikatan batin kita
Tapi karena aku ingin menjadi kecil di hatimu
Dan biar ia yang kau kagumi menjadi besar
Baiklah kalau bungaku yang kemarin
Kau campakkan juga
Karna tak pernah berarti bagimu
Akan kulepas pandangku pada sebuah titik lain
Yang bisa memberiku harapan
Dan tak usah kau heran bila esok
Kulagukan duniaku yang lain…
KESENDIRIAN
Berkali sudah kubenturkan hasratku
Pada dinding-dinding kodrat di sekelilingku
Yang mengantarai jarak kita
Dan kuluruhkan segala kerinduan
Agar kunikmati kedamaian hati
Dalam kesendirian
Tanpa bayangmu
Tanpa senyummu
Hanya dengan puisi-puisi
Dan syair-syairku
Bukankah itu sudah cukup ?
CATATAN HARI ULANG TAHUN
Pagi ini aku buru-buru membuka hari
Tak sempat lagi kukunyah
Mimpi-mimpi seputar tidurku semalam
Aku tak sabar ingin menyapamu
“Selamat pagi, Selamat ulang tahun”
sebentar kita bercanda
membuyarkan embun pagi
sebelum sinar matahari hangatkan bumi
ada yang hendak kukatakan
bahwa mentari masih setia menemani bumi
bahwa aku masih berlayar di belakangmu…
KEBIMBANGAN
Masih tersisa segurat kebimbangan
Menggantung di langit
Saat surya menampakkan diri
:tentang sebuah rindu
impian yang abstrak
baur dalam kabut pekat
tak nampak jalan di depan
apakah akan tertinggal segumpal kebahagiaan
bila cinta harus dipertaruhkan
apakah akan ada tawa
bila kusunting rembulan
aku masih bergelut dengan kebimbangan
ketika mentari lindap di ufuk barat
makin terjerumus dalam rawa kebimbangan
waktu bintang-bintang mengawal malam
esok pun kujelang bersama
kebimbangan
CATATAN 1 JULI
Aku berlari mengejar pagi
Tapi aku diburu kepekatan malam
Ingin kugapai wajah-wajah mentari
Kurengkuh cahaya hidup terang
Sesungguhnya aku merindukanmu
Namun aku terlalu takut
Sekedar menyapamu
Atau gamit jemarimu
Sempatkah suatu saat nanti
Kita duduk bersama dalam satu rakit
Mendayung, menepis keputusasaan
Mendayung, melawan ketakutan
Mendayung, mencari hari-hari ceria kita
Sampai akhirnya kita
Tiba pada daratan
Pada pondok kasih yang kita dambakan
KUBIARKAN
Kubiarkan bayangmu bermain
Di seputar anganku
Senyummu berhamburan
Ketika gerimis menyapa bisu
Kuresapi nuansa ini
Meski dingin masih terasa
Dan tubuh menggigil
Karna luka belum juga sembuh
Kubiarkan bayangmu menggamitku
Membawaku pada sebuah perjalanan
Mengukir kebersamaan
Sebelum warna jingga
Berganti dengan gelap
Sebelum lampu-lampu jalanan
Berkata: Selamat Malam…
LUKA
Aku berdiri di atas kekuatan luka
Menantang langit kalau aku
Masih sanggup bertahan tanpa siapa-siapa
Masih mampu membendung segala duka
Sebab Tuhan masih menjadi
Satu-satunya pegangan
Bila perih makin mengganggu
BERLINDUNG DALAM PELUKAN TUHAN
Berlindung dalam pelukan Tuhan
Meredam duka dan penderitaan
Lepas dari bayang-bayang ketakutan
Meneduhkan diri di atas pangkuan-Nya
Menarik kesimpulan bening
:kesejukan hati
Bapa,
Dalam kegelisahanku
Kutemukan damai pada cahaya kasih-Mu
BIARKAN
Aku hanya bisa diam
Mematung
Membisu
Menenggelamkan segala tawa
Mengubur semua suka cita
Pada palung paling dalam
Biarkan langit tak biru lagi
Biarkan surya tenggelam sebelum waktunya
Biarkan badai bergemuruh
Biarkan halilintar bersabung
Biarkan daun-daun berguguran
Biarkan bingkai-bingkai kaca berkepingan
Biarkan!
Biarkan kuresapi nuansa nuansa kelabu
Dalam angin puting beliung
Dalam api yang berkobar
Biarkan!
Sebab aku telah kehilangan air bening
Yang kemarin baru kuminum
SOLITUDE
Hanya ada satu sarang
Dimana aku kembali pulang
Untuk mengadu
Bernama penderitaan
Segala aliran luka
Bermuara di sana
Tangisku terpelanting di batu-batu
Pada suatu ketika
Dimana orang-orang membuat patung
Memelihara ikan arwana
Menyembunyikan hatinya di balik jas
Di antara bau parfum
Dan mengikat nasib pada dasi di leher
Hanya ada satu sarang
Dimana aku selalu pulang
Bernama penderitaan
TAK KAN PERNAH ADA
Tak kan pernah ada
Seorang yang akan mengerti aku
Kesedihanku
Kesepianku
Kerapuhanku
Kelemahan tubuhku
Tak kan, tak kan pernah ada!
Aku masih harus berjalan sendiri
Mengurai duka sendiri
Mengobati segala luka sendiri
Mengemas tangis dan tawa untuk sendiri
Tak ada teman untuk berbagi
Tak kan, tak kan pernah ada!
Biar kukubur dalam-dalam
Segala kerinduan dan harapan
Kutenggelamkan angan dan impian
Sesungguhnya tak pernah ada istana bahagia
Dan jalan gersang tak berujung ini
Mesti kutempuh sendiri
24 November 2008
SELAMAT NATAL, LEONI...
Selamat Natal.
Kubawa rangkaian bunga putih dan kuletakkan di atas batu nisan yang terbuat dari marmer hitam. Aku membaca sebuah puisi yang dulu pernah kutuliskan untuknya.
Saat engkau takut
Merasa kecil dan tidak berarti
Merasa kesepian dan terasing
Saat tak seorang teman pun yang dapat kau temui
Aku ada di dekatmu
Saat air matamu jatuh
Aku akan menghapusnya
Saat engkau terpuruk di jalanan
Saat kau merasa malam begitu berat mengungkungmu
Dan kepedihan mengelilingimu
Aku akan menemanimu
Menenangkan perasaanmu
Barlayarlah, gadis kecilku…
Berlayarlah sekarang…
Bila kau butuh seorang teman
Aku berlayar tepat di belakangmu…
Aku memeluk sebentar pesirahannya. Walaupun aku tahu ia sekarang sudah berada di sorga, dalam pangkuan Bapa, tapi aku ingin merasakan kehadirannya walau cuma sesaat. Tunggu aku ya, bisikku. Bila tugasku di bumi sudah selesai, aku pasti pulang menjumpaimu, bisikku lagi.
Leoni,
Kalau boleh, aku ingin minta izin kepadamu. Belum lama ini aku berkenalan dengan seorang gadis. Ia mirip denganmu. Lembut, sabar, penuh pengertian, sederhana dan selalu memperhatikanku. Ia benar-benar mengingatkanku padamu. Rambutnya yang panjang, wajahnya yang penuh kasih dan selalu dihiasi senyum. Ia mungil sepertimu, Leoni. Ia selalu memberiku pelayanan yang baik bila aku berkunjung ke rumahnya. Akh, seperti kamu dulu ketika aku datang ke rumahmu. Kamu segera membuatkanku air jeruk kesukaanku.
Pertama aku mengenalnya aku tidak begitu tertarik. Memang sejak kamu meninggal aku tidak ingin menggantikan posisimu dalam hidupku. Aku tak ingin menggesermu dari tahta hatiku. Itu sebabnya aku berusaha untuk menjauhi setiap gadis. Bahkan Ning yang selama ini dekat denganku, kujauhi juga. Aku selalu berdalih bila ia ingin mendekatiku, walaupun itu sekedar untuk makan malam saja. Kamu tahu, Leoni. Sejak saat itu teman-temanku menjulukiku dengan sebutan “cool man,” laki-laki dingin, kampungan dan masih banyak lagi. Tapi aku tidak perduli. Kamu tahu apa sebabnya? Aku selalu teringat kata-katamu sebelum kamu meninggal, bahwa kita akan berkumpul di sorga dalam sebuah keluarga. Sampai suatu ketika pikiranku terbuka, ketika kami sedang belajar Dogmatika tentang sorga dan kehidupan sesudah mati. Rupanya aku keliru kalau menganggap kita bisa menjadi sebuah keluarga seperti di dunia ini. Di sorga kita hidup seperti malaikat, tidak menikah. Jadi tidak ada suami istri di sorga. Aku baru menyadari bila keluarga yang kamu maksud adalah keluarga besar Bapa di sorga. Keluarga kerajaan Allah yang kekal dan penuh kasih.
Leoni,
Suatu siang aku sedang membaca buku di ruang referensi. Aku sedang mencari bahan-bahan untuk melengkapi skripsiku. Tiba-tiba seorang gadis memintaku mencarikan sebuah buku. Setelah mencari begitu lama di rak-rak buku dan tidak menemukannya, kami berniat mencari di tumpukan buku-buku yang baru dibaca dan siap dirapikan. Tapi kami juga tidak menemukannya.
“Tidak mungkin buku itu dipinjam,” gerutu gadis itu.
“Coba cari di katalog buku, siapa tahu memang judul itu tidak ada,” kataku menyarankan.
“Sudah, kok. Buku itu ada dalam daftar.”
“Mungkin dipinjam.”
“Ah, Kakak ini bagaimana, sih. Buku di ruang referensi ‘kan nggak boleh dipinjam.”
“Oh, iya. Kenapa bisa lupa, ya? Padahal aku sudah hampir empat tahun kuliah di sini,” kataku menyalahkan diri sendiri.
Aku kembali ke tempat dudukku dan berniat melanjutkan membaca. Kuangkat buku yang lumayan tebal itu dalam posisi berdiri. Gadis itu duduk di depanku.
“Kakak ini bagaimana, sih. Itu bukunya yang dari tadi kita cari,” tiba-tiba gadis itu berseru tertahan. Ia segera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, karena di perpustakaan dilarang keras bersuara keras.
“Mana?” tanyaku singkat.
“Itu.” Gadis itu menunjuk buku yang tengah kubaca.
“Theological Dictionary On The New Testament Volume II. Ya, Tuhan. Kenapa aku jadi pikun hari ini,” gerutuku lirih.
Kami berdua tertawa sambil menutup mulut dengan telapak tangan supaya tidak terdengar keluar. Akhirnya kami pun berkenalan. Aku begitu picik sampai tidak mengenal adik-adik kelasku. Aku tersentak ketika menatap wajahnya lekat-lekat. Dia persis kamu, Leoni. Persis! Aku ingat sewaktu ia tersenyum benar-benar membuat dadaku berdesir. Itu senyummu, Leoni.
Akh, mana mungkin. Kita ‘kan tidak percaya reinkarnasi. Mana mungkin kamu hidup lagi ke dunia dalam wujud orang lain. Tidak. Alkitab tidak mengatakan hal itu. Dan kita hanya percaya pada Firman Allah dalam Alkitab kita. Tapi…Dia sungguh-sungguh mirip denganmu, Leoni. Gaya rambutnya, bibirnya yang mungil, alisnya yang tebal, bola matanya yang bening dan caranya berjalan tidak ada bedanya denganmu.
Tidak terasa sudah tiga bulan berlalu sejak perkenalan kami di perpustakaan itu. Kami semakin dekat. Kami mulai berbagi cerita. Dia sepertimu, Leoni. Selalu merasa kesepian dalam rumahnya yang mewah dan keluarganya yang berkelimpahan. Aku ingin membuatnya bahagia, seperti dulu aku selalu membuatmu tertawa dalam setiap kebersamaan kita. Aku ingin menyayanginya, Leoni. Aku ingin mencoba menggantikan posisimu dalam hidupku membiarkannya bertahta di ruang hatiku. Menjadikannya bagian dari diriku. Tapi bukan berarti aku akan melupakanmu begitu saja. Kamu masih tersimpan di sini, di dadaku. Dan kenangan-kenanganmu masih kusimpan di benakku.
Leoni,
Hari ini aku ingin mohon diri darimu. Aku ingin menyuntingnya menjadi kekasihku, boleh ‘kan? Kamu pasti setuju. Dia baik dan kuharap memang dia akan tetap baik. Kamu pasti tidak menghendaki aku tinggal sendiri dan bercinta dengan bayang-bayangmu. Kamu pasti tidak menghendaki aku kesepian dengan menghabiskan sisa hidupku seorang diri, tanpa seorang pendamping hidup.
Aku ingin memberikan segenap kasih sayangku padanya. Dia akan menjadi yang kedua, sesudah Tuhan, yang menjadi prioritas hidupku. Cerita-cerita cintaku, syair-syair dan puisi-puisi cintaku sekarang akan menjadi miliknya. Juga puisi yang tadi kubacakan untukmu, sekarang akan menjadi miliknya. Hari ini aku mohon diri darimu. Selamat tinggal, Leoni. Sampai jumpa di sorga nanti.
Sekali lagi kuucapkan, Selamat Natal,
Leoni….
Kuseka keringat yang membasahi dahiku dengan sapu tangan. Aku beranjak dari pusara Leoni dan bergegas meninggalkan tanah pemakaman itu. Sempat kulihat sekilas beberapa orang yang tengah berziarah memperhatikanku. Aku tidak perduli. Aku segera memacu motorku menuju ke Ungaran. Aku ingin merayakan Natal bersama teman-teman di Bukit Doa Getsemani. Aku ingin merayakan Natal bersama ‘Leoniku’ yang baru. Membuat pohon Natal dan menghiasinya dengan bila-bola plastik. Menyalakan lilin dan menyanyikan kidung-kidung Natal Silent Night, Holy Night,The First Noel atau Twinkle-Twinkle. Aku tersenyum sendiri. Ada satu yang ketinggalan, membunyikan lonceng-lonceng kecil dari perak. Aku merogoh saku jaketku dengan tangan kiri. Kukeluarkan sepasang lonceng kecil dari perak.
“Aku masih menyimpannya, Leoni,” gumamku. Lonceng itu pemberiannya, ketika aku masih bersamanya. Dan aku selalu membunyikannya berdua di dekat pohon Natal pada setiap malam Natal.
“Sekarang aku akan membunyikan lonceng ini bersama penggantimu,” bisikku lagi. Sepanjang jalan Semarang-Ungaran kudengar lagu “Joy to The World” di telingaku. Gembiralah dunia. Gembiralah hatiku. Harapan baru telah datang bersama damai Natal tahun ini. Tunggu aku Elisabet, aku segera datang untukmu….
Ungaran, Desember 2000
22 November 2008
CATATAN OKTOBER 1996
CHAOS
Derai gerimis tirai pagi
Nyata, cuma bersambut umpat maki
Sialan
Sialan, lagi katanya
Namun langit malah membantahnya sengit
Glegar! Glegar!
Dan gerutu jadi lalap segar
Lauk yang beruntun keluar bersama maki
Sumpah serapah, keluh kesah
Adalah satu-satunya senjata yang dia punya
Lepas itu!
Surya pagi juga enggan tersenyum
Tak mau tahu, kata sahabat di
Dan akhirnya
Yang marah lelah juga
Tertidur dipeluk angin
Besok begini juga ?
FRAGMENT
Hanya satu babak
Pun tak terselesaikan
Teramat singkat
Dua setengah waktu
Dan telah rampung
Uh, ini hanya fragment
Pun tak cukup menarik
Uh, rindumu bak mainan
Bosan
Kau buang di tong sampah
Rindumu bak fragment
Tak dapat kunikmati
Hingga ke akhir waktu
ADEGAN TERAKHIR
Haruskah kupenggal cerita lama
Yang belum tuntas terurai mata
Tidak!
Aku bukan kamu
Tidak!
Aku bukan bunglon
Belum pantas mengakhiri cerita
…lalu kubiarkan
menggelinding pada kekuatan luka
sebagai awal kebahagiaan
di luar dunia
:mati
aku takut bertatap mata
meski kau sudah menginjak
adegan akhir suatu episode
PINTU 1
Dingin
Rapat terkunci pada ruang
Berkali angin mengusik
Bisu berlalu dari jendela
Akan sapa siapa setelahnya
Impian pemetik kembang ?
Senyap
Dan mentari lindap
Yang menyisa pada rumpun ilalang
Lama
Sesudah warna pun tak rupa
Tanda jadi keranda
Sendiri di kebisuan tak bernama
Obati kesabaran
Pun lara
Hanyut jua
Oleh cinta lain makna
ILUSI
Adakah hatimu memanggilku
Ketika gerimis melumerkan kenangan
Dan bayang-bayang kasihmu berkelebatan
Atau segalanya cuma ilusi
Yang cepat berlalu
Dipermainkan harapan
Dan berlalu
Menghayati kesendirian
Adakah kau dengar panggilanku ?
Kemarin aku menunggumu di pintu ini
Hari ini lewat pintu itu aku menunggumu
Esok kau menungguku di mana?
Sebab pintuku telah tertutup
Andai tiba-tiba ada bisik mengusik tidurmu
Tentu bukan aku yang mengirimnya
Karena hujan telah membuatku
Beku dan bisu untukmu
20 November 2008
NYANYIAN DUKA UNTUK LEONI
Aku sedang mengikuti kuliah dogmatika siang itu. Aku duduk dekat jendela di barisan paling belakang. Sementara itu Yogi dan Charli duduk di depan kelas untuk mempresentasikan makalah mereka. Aku mendengarkan dengan tidak bersemangat. Ku coret-coret bagian belakang makalah yang dibagikan dan mulai menggambar wajah Pak Yonathan, dosen Dogmatika.
Ketika aku sedang menggambar kaca mata Pak Yonathan, sekilas kulihat di bawah
“Dan, kalau kuliah yang sungguh-sungguh!” Welli menjawilku dari belakang tempat dudukku. “Dari tadi kok nggambar melulu.”
“Lagi nggak mood nich,” balasku.
“Dan, punya permen, nggak?” Ning menyela dari sampingku.
Aku merogoh saku bajuku dan mengeluarkan beberapa bungkus tango mangga kesukaan gadis itu. Kujulurkan tanganku kepadanya segera beberapa teman yang lain berebut mengambilnya. Sejenak terjadi keributan di sekitar tempat dudukku.
Tiba-tiba pintu kelas diketuk. Pak Andre, satpam kampus rupanya yang datang dan langsung menghampiri Pak Yonathan. Kelas terhenti sejenak. Semua mata tertuju kepada pembicaraan kedua orang itu yang tidak terdengar. Sejenak setelah Pak Andre keluar, Pak Yonathan memanggil namaku.
“Saudara Daniel. Anda sedang ditunggu seorang polisi dan dua orang zuster di bawah. Katanya ada urusan penting. Silahkan..”
Aku keluar diiringi wajah teman-temanku terutama Ning yang menatap serius dan penuh tanda tanya kepadaku. Ku akui aku sendiri agak kuatir, tapi aku tetap melempar senyum kepada teman-temanku sebagai isyarat aku tidak apa-apa.
Sambil menuruni anak tangga aku mencoba menebak apa kesalahan yang telah kulakukan. Namun aku tidak juga menemukan ada kekeliruan yang telah kulakukan, apalagi yang bersangkutan dengan polisi dan biarawati.
Sesampai di bawah kulihat ketiga orang yang mencariku sedang berbincang-bincang dengan Pak Andre di pos satpam. Aku ragu-ragu mendekati mereka.
“Maaf, Bapak dan zuster mencari saya?” tanyaku singkat. Jantungku berdegup kencang. Aku kuatir kalau aku memang telah melakukan kesalahan.
“Benar.” Pria berseragam polisi menjawab.”Kami sengaja datang dari
Setelah memperkenalkan diri mereka dan berbasa-basi sebentar, ketiga orang itu mulai mengajakku bicara serius.
“Begini, Dik. Adik pasti kenal dengan Leoni.” Zuster Naomi angkat bicara.
“Leoni yang mana maksud Zuster?” tanyaku sedikit terkejut. Entah kenapa dadaku selalu bergetar bila nama itu disebut. Nama itu pernah akrab denganku enam tahun yang lalu. Nama yang tak mudah tergantikan oleh nama yang lain. Kali ini aku punya firasat buruk.
“Leonita Florence Susanto,” jawab zuster Naomi singkat.
Dadaku terasa berdegup kencang ketika kulihat mendung bergayut di wajah zuster itu. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan Leonita.
“A-apa yang terjadi dengannya? Di mana dia sekarang? Kenapa?Kenapa Zuster?”
“Tenang, Dik Daniel. Zuster, biar saya yang cerita,” kata Kapten Susanto dengan suara penuh wibawa. “Sudah tiga bulan Leoni dirawat di rumah sakit. Ia mengidap Leukimia dan tinggal menunggu maut menjemput,” lanjutnya.
“Ia minta agar kami mencarimu. Ia ingin bertemu kamu sebelum ia meninggal,” Zuster Rebeca menyela.
“Benar,” kembali Kapten Susanto. “ Kami sudah berusaha mencarimu ke Lampung, tapi ternyata kamu sudah tidak tinggal di
“Seorang anak buah saya ternyata teman kecil Dik Daniel, namanya Yosef. Dia bercerita kalau dia baru bertemu Adik di Jakarta. Saya banyak bertanya supaya saya tidak salah orang. Ternyata orang yang dia ceritakan sama persis dengan orang yang kami cari. Untuk itu kami bergegas datang kemari. Kami tak ingin sedetik pun kehilangan kesempatan.”
“Demi keponakan kami,” Suster Rebeca menyela.
“Ya, paling tidak kami bisa memenuhi permintaannya sebelum ia meninggalkan kami,” gumam Suster Naomi.
“Dik Dani mau ‘
“Saya sudah tahu kalau Leonita yang salah menilaimu. Dia sudah banyak cerita tentangmu. Dan dia paling senang bila sudah bercerita tentang dirimu,” lanjut Zuster Rebeca.
“Untuk sementara kami minta Dik Dani melupakan apa yang pernah ia lakukan kepada Dik Dani,” Kapten Susanto berharap.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Saya tidak pernah membenci Nita (begitu aku biasa memanggil Leonita). Saya tidak pernah punya pikiran kalau Nita telah berbuat jahat kepada saya. Sampai saat ini pun saya selalu mencoba mencari berita tentangnya. Dua kali saya mencoba datang ke rumahnya ketika
“Andai saja ia tahu. Saya masih mencintainya Zuster,” kataku kemudian setengah berbisik.
“Baiklah.” Kapten Susanto mencoba membuat netral suasana. “Jadi bagaimana keputusannya?”
“Bawa saya sekarang juga menemui Leonita, Kapten!” kataku kemudian.
“Baik. Tapi Anda harus izin dulu karena mungkin Anda harus meninggalkan kuliah selama beberapa hari.”
Aku bergegas naik kembali ke lantai tiga. Aku langsung menuju ke meja Pak Yonathan, berbicara perlahan untuk meninggalkan kelas lalu kembali ke tempat dudukku untuk mengambil ranselku. Kulihat Ning menatapku penuh kekuatiran. Gadis ini memang banyak memberiku perhatian lebih dari sekedar sahabat.
“Jangan kuatir, Ning. Aku nggak apa-apa.” Kataku mencoba menjawab kekuatirannya. “Aku hanya perlu ke Semarang untuk beberapa hari. Ada urusan penting. Aku akan segera kembali.” Kataku lagi.
“Kau tidak berbuat kesalahan kan?” tanya gadis itu sambil menggenggam tanganku. Kulihat semua mata tertuju kepadaku. Aku memberi syarat kepada Ning agar melepaskan genggamannya, namun gadis itu tidak peduli.
“Tidak. Percayalah.” Kataku kembali menegaskan. “Okey, aku pergi dulu. Nanti aku pasti ceritakan semuanya,” kataku sebelum meninggalkan ruang kuliah. Kulihat sekilas wajah teman-temanku penuh kekuatiran mengantar kepergianku dengan pandangan mata mereka sampai aku menghilang di balik pintu kelas..
“Mas Dani, kaukah itu?”
Aku ragu-ragu menjawabnya. Bagaimanapun perpisahan yang cukup lama dengannya membuatku merasa canggung. Aku hanya memandangnya wajahnya penuh haru. Gadis yang dulu begitu mempesona dan telah banyak menyita ruang hatiku, kini terbaring tak berdaya.
“Mas Dani, kaukah itu?” tanya Leoni lagi.
“Iya, Ini aku,” jawabku kemudian. Wajah gadis itu tampak berseri, meskipun gurat-gurat penderitaannya tampak lebih jelas. Ia bermaksud untuk duduk tetapi aku melarangnya.
“Aku ingin bercerita padamu, Mas. Aku ingin melihat wajahmu sementara aku bercerita.”
Leoni tetap bersi keras untuk duduk. Akhirnya aku menuruti permintaannya. Kuletakkan beberapa bantal untuk mengganjal punggungnya agar ia bisa duduk.
“Sudah begitu lama aku menantikan saat ini. Namun aku tidak berani berharap karena kesalahan yang pernah kulakukan padamu. Ketika aku sadar aku keliru menilaimu, aku tenggelam dalam rasa penyesalan yang dalam. Kutinggalkan Bram dan aku masuk biarawati. Menurutku ini adalah cara untuk menebus kesalahanku padamu.” Leoni berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
“Selama aku di susteran ini aku selalu berusaha mencari kabarmu, tetapi begitu sulit untuk menemukanmu. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Aku terus mencari sampai akhirnya kudengar dari tante Yuli kamu masuk ke sebuah Sekolah Alkitab di Jakarta. Aku minta tolong pamanku untuk mencari tahu apakah itu benar. Melalui seorang anak buahnya ia berhasil mendapat keterangan, bahwa kamu memang ada di sana,” kembali Leoni menarik nafas dalam-dalam.
“Aku hanya ingin minta maaf kepadamu, Mas. Aku bahagia seandainya Tuhan memberikan penyakit ini sebagai bayaran atas pengkhianatanku kepadamu tujuh tahun yang lalu. Itu sebabnya aku tak pernah berdoa minta kesembuhan kepada-Nya. Aku hanya berdoa agar Tuhan mempertemukanku denganmu sebelum ajalku tiba.”
Kata-kata Leoni terputus karena batuk berkali-kali. Kulihat cairan merah kental mengalir dari mulut dan hidungnya. Aku sedikit panik. Kuambil sapu tanganku dan mengusap darah yang membasahi bibirnya. Kupeluk tubuh kurusnya dengan penuh kekuatiran.
“Tidak Nita! Kamu pasti sembuh,” kataku setengah menjerit. “Aku telah memaafkanmu sejak kita berpisah hari itu. Aku…” Aku tidak meneruskan kata-kataku karena kulihat Leoni memberi isyarat agar aku diam.
“Kamu masih mau mendengarkan aku?” tanya gadis itu setengah berbisik. Aku mengangguk.
Gadis itu hendak melanjutkan ceritanya, namun kembali ia tersengal-sengal. Darah yang mengalir dari hidung dan mulutnya semakin banyak. Matanya berair. Aku tahu ia sengaja menahan rasa sakitnya.
“Sudahlah, Nita. Kamu tak perlu memaksakan diri. Aku tahu kamu sangat menderita karena perpisahan itu. Kita sama-sama menderita. Tapi kita tak perlu mengingatnya lagi. Kamu tahu aku masih selalu mengingatmu. Terus terang aku tak pernah bisa melupakanmu.” Akhirnya luka itu kubuka kembali meskipun hatiku merasa perih, namun aku tak mau Leoni melihatnya. Aku ingin membuatnya senang dan berharap keajaiban terjadi walaupun itu mustahil.
“Maukah, Mas memelukku sekali lagi?” tanyanya dengan wajah sendu.
“Tentu, sayang.” Kugenggam tangannya lalu kupeluk tubuhnya penuh kasih sayang. “Maafkan aku, Ning,” bisikku dalam hati.
“Terima kasih, Mas. Ternyata kamu masih seperti yang dulu..” Aku tergugu melihat telaga bening mengalir di pipinya. Kukuatkan diriku agar air mataku tidak jatuh. Kupeluk dan kupeluk tubuhnya seolah aku tak ingin terpisah dengannya.
Tiba-tiba genggaman tangan Leoni melemah. Aku melepaskan pelukanku. Kulihat wajah gadis itu tersenyum.
“Nita. Nita.” Aku mengguncang-guncang tubuhnya, tetapi ia tak bereaksi lagi. Aku panik sekali. Kupencet bel di sisi tempat tidur berkali-kali. Beberapa detik kemudian seorang dokter dan beberapa perawat berdatangan. Bumi tampak berputar. Langit di atas kepalaku tampak tertutup mendung hitam. Gelap, semua tampak gelap…..
“Nita, kenapa harus berakhir seperti ini?” gumamku di sela-sela isak tangisku.
“Andai saja kita tidak pernah berpisah, mungkin kita masih sempat merasakan indahnya rumah mungil yang damai yang pernah kita impikan bersama. Kita masih sempat menanam kembang-kembang di seputar rumah kita. Akh, Nita…”
Aku tak sanggup lagi bersuara. Rongga dadaku terasa semakin sesak. Pandanganku makin kabur karena air mataku semakin deras mengalir. Aku bahkan tidak menyadari kalau seseorang telah memelukku dan membimbingku untuk berdiri.
“Hari sudah hampir malam, Mas. Sebaiknya kita pulang.”
“Susan,” bisikku dengan suara parau. “Kukira kamu sudah pulang bersama mereka.” Susan menggeleng.
“Mbak Nita berpesan sebelum meninggal agar aku menemani Mas selama Mas berada di sini.”
“Aku baik-baik saja,” kataku sambil menyeka wajahku dengan sapu tangan. “Mari kita pulang,” kataku lagi sambil menggandeng tangan Susan meninggalkan pusara gadis kecilku.
Leonie, leonie…
I dream of only you
And it seems you’re somewhere around
with anything I do
with everything I do
Leonie, Leonie…
I dream of my life away
Make believe you’re still around
And dreams of yesterday
Leonie,
You’re flowing on my mind
Like a never ending stream…
Leonie,
I recall the days I’ve spent with you
The little words and things we used to say and do
Leonie,
I can’t get you of my mind
And I wonder, why I’ve lost you…
Semburat warna jingga berbaur dengan warna kelabu mengambang di ufuk barat. Hanya sesaat sebelum gelap benar-benar menenggelamkan sang surya. Seperti waktu yang telah menenggelamkan matahariku untuk selama-lamanya. Kusenandungkan lagu duka itu sekali lagi dan kubiarkan bayangan Leoni berputar-putar di benakku sesaat, sebelum akhirnya aku terlelap dalam mimpi.***(in memoriam : AS)
Catatan Februari 1995
Aku termangu ketika
Tiba-tiba kau datang menyapa
Aku termangu ketika
Waktu berlalu dalam perbincangan bisu
Aku termangu ketika
Kau berikan sebait ngilu
Aku masih termangu
Walau kau telah berlalu
Catatan Malam
Kupungut juga serakan mega-mega
Yang menggoda di seputar tidurku
: Selamat Pagi
mimpiku tercecer sepanjang jalan
tanpa pernah terubah oleh jumlah
sebagaimana ketika hari mulai melangkah
ada beberapa hari
yang kelam dan menghitam
kupungut juga ?
Ya!
Sebab harumnya melati
Telah mengalir dalam nadi-nadiku
Kupungut juga
Dan pucuk-pucuk para pun tertawa
Waktu kukatakan
Hendak kusunting rembulan
Hari Selasa
Dulu kau datang dengan segenggam harapan
Sejumlah janji dan segenap perasaan
Aku bahagia dan selalu ingat
Hari itu hari Selasa
Lalu kau pergi
Bawa cinta dan bawa semua
Tinggalkan aku sesali semua
Dan kuingat
Hari itu juga hari selasa
Kini kau kembali minta satu cinta
Tawarkan satu cinta
Apakah kau pikir akan kubuka lagi
Pintu hati untukmu hari ini
Datanglah lagi besok
Dan kita lihat
Apa yang akan terjadi
Hari rabu…
Pecundang
Tak pernah terpikirkan
Aku pecundang di hadapanmu
Dalam permainan yang kubuat sendiri
Sedangkan segala cara telah kupelajari
Ternyata aku kalah juga
Tak berdaya saat kau datang
Menyapa dan mengajakku bercanda
Lalu pergi begitu saja
Adakah kau sadari
Setiap pertemuan kita
Adalah peperanganku
Yang tak tahu kapan usainya
Zaman
Aku menggelinding
Terbawa zaman yang kian lapuk
Cucur air mata tak dihiraukan semua
Aku…aku…aku
Nasib adalah aku
Terbuai angan yang tak pernah berujung
Asap kental merangsang laku
Dosa tanpa rasa
Menjarah cita yang kian kabur
Semu
Air suci telah mengering
Hati suci telah berdebu
Firman suci dianggap khayal
Saksi hati diingkari
Beningnya batin jadi duri kenyataan
Hati gelap
Satu putih, seribu hitam
Haruskah mati dengan kesia-siaan
Aku pasrah
Pasrah bukanlah kalah!
Kamar
Meski kamar itu tetap sepi
Biarlah
Akan kujaga agar tetap bersih
Meski kemarin telah kuminta seseorang untuk tinggal di sana
namun ia menolak
biarlah
meski kamar itu tetap sepi
aku tak kan berhenti menghiasinya
dengan bunga-bunga melati
dan membuatnya tetap wangi
Meski kamar itu tetap sepi
Biarlah
Aku tak kan berhenti
Nyanyikan lagu kerinduan di sana
19 November 2008
INTERLUDE
Ketika daratan lain menyapa pelan-pelan
Dari sebuah senyum asing yang kedinginan
Ah, siapa gerangan yang tiba-tiba datang
Dengan bisikan angin pada gerimis
Petang-petang begini?
Atau aku yang sengaja membuang sesuatu
Yang teramat samar
Pada pelataran luas tak terbatas
Lalu memungutnya lagi
Pada daratan lain
Dan di pelataran lain pula
: peristirahatan sementara
teramat banyak
tanya dan cerita
SETITIK EMBUN PADA DAUN KERING
nyaris terinjak telapak kakiku
setitik embun yang membasahi
daun kering itu
adalah bayangmu samar
yang kemudian gugur
dihembus angin malam
: dengan inikah kau balas kerinduanku?
SIA-SIA
Sehelai daun melayang
Siang telah habis sebelum waktunya
‘ngembara antara satu pertanyaan
ke pertanyaan
dan rindu menumbuhkan harapan
dari musim ke musim
sehelai daun melayang
menggemakan malam
yang kehilangan bulan
sia-sia rindu menunggu
LAKSANA PELANGI
Laksana pelangi
Kau menyapaku ketika gerimis mungil mengisi hati
Dan sengatan kecil mentari
Menutup luka
Kau tawarkan titian warna
Gerbang ‘tuk capai bahagia
Laksana pelangi
Kau menutup rapat segala mata hatiku
Dengan pancaran warna pesonamu
Kau berikan sayap bidadari
Yang membuatku dapat mengitari bumi
Hingga…
Tak jua kumengerti
Ketika laksana pelangi pula
Kau menghilang
Tanpa bekas
DAHULU
Aku memburu segala kerendahan hati
Alangkah panasnya
Kilauan matamupun menyengat
Kini kutapaki lagi
Assesorimu membuat tapak bibirku bergetar
Tetapi betapa
Goresan-goresan cinta yang lewat
Tak lagi kukenal
Semua sudah rata
Tak mengenalku lagi
Alangkah sepi jiwa ini
Bila jarak cinta antara kita
Sudah begitu besarnya
CATATAN MEI 1999
KENANGAN TERAKHIR
Kutulis berkali-kali
Supaya sulit kau hapus
Sampai kau mengerti
: di situ sebuah hati terbaring tulus
sejak semula aku tahu iramanya
namun tak kusangka lenyap secepat ini
lagu cintamu
maka kutuliskan
meski perih mengenang pergimu
aku letih melawan sepi
AKU MENGINGATMU
Kurenungi sebelum semuanya berlalu
Sebelum perih mengganggu
Sesaat setelah senyummu beku
Aku mengingatmu
Waktu berputar untuk saling
Belajar melupakan
Tetapi biarkan untuk terakhir kali
Aku mengingatmu
Menyusun semua kenangan dalam peti
Sebelum akhirnya
Aku menguburnya abadi