SALAM JUMPA

Hai, teman-teman....
Selamat datang di blog puisiku ya... tapi sebenarnya nggak hanya puisi, di sini kamu bisa baca juga cerpen-cerpenku. Pokoknya semua yang bernada curahan hati....Sebagian besar cerita dan puisi melukiskan perjalanan hidupku...Yach, daripada disimpan, mendingan ditulis, biar nggak lupa/hilang. Selamat membaca ya, jangan nangis loh hik hik hik.... :) Boleh di CoPas, tapi kalau untuk tujuan komersil, izin dulu ya...

20 November 2008

NYANYIAN DUKA UNTUK LEONI

Aku sedang mengikuti kuliah dogmatika siang itu. Aku duduk dekat jendela di barisan paling belakang. Sementara itu Yogi dan Charli duduk di depan kelas untuk mempresentasikan makalah mereka. Aku mendengarkan dengan tidak bersemangat. Ku coret-coret bagian belakang makalah yang dibagikan dan mulai menggambar wajah Pak Yonathan, dosen Dogmatika.

Ketika aku sedang menggambar kaca mata Pak Yonathan, sekilas kulihat di bawah sana sebuah van memasuki lapangan parkir. Aku melongok ke luar jendela sebentar. Ku lihat dua orang biarawati dan seorang berseragam polisi turun dari van itu. Mereka bertiga menuju ke pos satpam. Setelah itu aku tak menghiraukan lagi apa yang terjadi di bawah sana. Aku kembali menggambar wajah dosenku.

“Dan, kalau kuliah yang sungguh-sungguh!” Welli menjawilku dari belakang tempat dudukku. “Dari tadi kok nggambar melulu.”

“Lagi nggak mood nich,” balasku.

“Dan, punya permen, nggak?” Ning menyela dari sampingku.

Aku merogoh saku bajuku dan mengeluarkan beberapa bungkus tango mangga kesukaan gadis itu. Kujulurkan tanganku kepadanya segera beberapa teman yang lain berebut mengambilnya. Sejenak terjadi keributan di sekitar tempat dudukku.

Tiba-tiba pintu kelas diketuk. Pak Andre, satpam kampus rupanya yang datang dan langsung menghampiri Pak Yonathan. Kelas terhenti sejenak. Semua mata tertuju kepada pembicaraan kedua orang itu yang tidak terdengar. Sejenak setelah Pak Andre keluar, Pak Yonathan memanggil namaku.

“Saudara Daniel. Anda sedang ditunggu seorang polisi dan dua orang zuster di bawah. Katanya ada urusan penting. Silahkan..”

Aku keluar diiringi wajah teman-temanku terutama Ning yang menatap serius dan penuh tanda tanya kepadaku. Ku akui aku sendiri agak kuatir, tapi aku tetap melempar senyum kepada teman-temanku sebagai isyarat aku tidak apa-apa.

Sambil menuruni anak tangga aku mencoba menebak apa kesalahan yang telah kulakukan. Namun aku tidak juga menemukan ada kekeliruan yang telah kulakukan, apalagi yang bersangkutan dengan polisi dan biarawati.

Sesampai di bawah kulihat ketiga orang yang mencariku sedang berbincang-bincang dengan Pak Andre di pos satpam. Aku ragu-ragu mendekati mereka.

“Maaf, Bapak dan zuster mencari saya?” tanyaku singkat. Jantungku berdegup kencang. Aku kuatir kalau aku memang telah melakukan kesalahan.

“Benar.” Pria berseragam polisi menjawab.”Kami sengaja datang dari Semarang untuk mencari Anda. Jangan kuatir ini tak ada hubungannya dengan tindak kriminal,” lanjutnya seolah-olah mengerti kekuatiranku. Aku merasa lega. Sesaat aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tersenyum kepada mereka.

Setelah memperkenalkan diri mereka dan berbasa-basi sebentar, ketiga orang itu mulai mengajakku bicara serius.

“Begini, Dik. Adik pasti kenal dengan Leoni.” Zuster Naomi angkat bicara.

“Leoni yang mana maksud Zuster?” tanyaku sedikit terkejut. Entah kenapa dadaku selalu bergetar bila nama itu disebut. Nama itu pernah akrab denganku enam tahun yang lalu. Nama yang tak mudah tergantikan oleh nama yang lain. Kali ini aku punya firasat buruk.

“Leonita Florence Susanto,” jawab zuster Naomi singkat.

Dadaku terasa berdegup kencang ketika kulihat mendung bergayut di wajah zuster itu. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan Leonita.

“A-apa yang terjadi dengannya? Di mana dia sekarang? Kenapa?Kenapa Zuster?”

“Tenang, Dik Daniel. Zuster, biar saya yang cerita,” kata Kapten Susanto dengan suara penuh wibawa. “Sudah tiga bulan Leoni dirawat di rumah sakit. Ia mengidap Leukimia dan tinggal menunggu maut menjemput,” lanjutnya.

“Ia minta agar kami mencarimu. Ia ingin bertemu kamu sebelum ia meninggal,” Zuster Rebeca menyela.

“Benar,” kembali Kapten Susanto. “ Kami sudah berusaha mencarimu ke Lampung, tapi ternyata kamu sudah tidak tinggal di sana lagi. Kami ke Salatiga, ke Bali dan kota-kota yang pernah Dik Daniel singgahi. Namun hasilnya nihil. Kemudian saya meminta bantuan beberapa teman untuk mencari informasi tentangmu,” Kapten Susanto berhenti sejenak, menarik nafas dan mulai lagi.

“Seorang anak buah saya ternyata teman kecil Dik Daniel, namanya Yosef. Dia bercerita kalau dia baru bertemu Adik di Jakarta. Saya banyak bertanya supaya saya tidak salah orang. Ternyata orang yang dia ceritakan sama persis dengan orang yang kami cari. Untuk itu kami bergegas datang kemari. Kami tak ingin sedetik pun kehilangan kesempatan.”

“Demi keponakan kami,” Suster Rebeca menyela.

“Ya, paling tidak kami bisa memenuhi permintaannya sebelum ia meninggalkan kami,” gumam Suster Naomi.

“Dik Dani mau ‘kan menolong kami?” tanya Zuzter Rebeca kuatir.

“Saya sudah tahu kalau Leonita yang salah menilaimu. Dia sudah banyak cerita tentangmu. Dan dia paling senang bila sudah bercerita tentang dirimu,” lanjut Zuster Rebeca.

“Untuk sementara kami minta Dik Dani melupakan apa yang pernah ia lakukan kepada Dik Dani,” Kapten Susanto berharap.

Aku menarik nafas dalam-dalam. “Saya tidak pernah membenci Nita (begitu aku biasa memanggil Leonita). Saya tidak pernah punya pikiran kalau Nita telah berbuat jahat kepada saya. Sampai saat ini pun saya selalu mencoba mencari berita tentangnya. Dua kali saya mencoba datang ke rumahnya ketika Natal, tapi saya kuatir akan mengganggu kebahagiaannya dengan pria yang telah ia pilih.” Aku berhenti sejenak.

“Andai saja ia tahu. Saya masih mencintainya Zuster,” kataku kemudian setengah berbisik.

“Baiklah.” Kapten Susanto mencoba membuat netral suasana. “Jadi bagaimana keputusannya?”

“Bawa saya sekarang juga menemui Leonita, Kapten!” kataku kemudian.

“Baik. Tapi Anda harus izin dulu karena mungkin Anda harus meninggalkan kuliah selama beberapa hari.”

Aku bergegas naik kembali ke lantai tiga. Aku langsung menuju ke meja Pak Yonathan, berbicara perlahan untuk meninggalkan kelas lalu kembali ke tempat dudukku untuk mengambil ranselku. Kulihat Ning menatapku penuh kekuatiran. Gadis ini memang banyak memberiku perhatian lebih dari sekedar sahabat.

“Jangan kuatir, Ning. Aku nggak apa-apa.” Kataku mencoba menjawab kekuatirannya. “Aku hanya perlu ke Semarang untuk beberapa hari. Ada urusan penting. Aku akan segera kembali.” Kataku lagi.

“Kau tidak berbuat kesalahan kan?” tanya gadis itu sambil menggenggam tanganku. Kulihat semua mata tertuju kepadaku. Aku memberi syarat kepada Ning agar melepaskan genggamannya, namun gadis itu tidak peduli.

“Tidak. Percayalah.” Kataku kembali menegaskan. “Okey, aku pergi dulu. Nanti aku pasti ceritakan semuanya,” kataku sebelum meninggalkan ruang kuliah. Kulihat sekilas wajah teman-temanku penuh kekuatiran mengantar kepergianku dengan pandangan mata mereka sampai aku menghilang di balik pintu kelas..

Kutatap wajah Leoni yang pucat dan kurus. Pipinya yang dulu montok sekarang membentuk sudut. Kugenggam tangannya yang dingin. Matanya yang sejak tadi terpejam tiba-tiba terbuka. Wajahnya pucat dan bibirnya gemetar ketika hendak mengatakan sesuatu. Kudekatkan telingaku ke bibirnya agar aku lebih jelas mendengar suaranya. Dengan terbata-bata ia berkata kepadaku.

“Mas Dani, kaukah itu?”

Aku ragu-ragu menjawabnya. Bagaimanapun perpisahan yang cukup lama dengannya membuatku merasa canggung. Aku hanya memandangnya wajahnya penuh haru. Gadis yang dulu begitu mempesona dan telah banyak menyita ruang hatiku, kini terbaring tak berdaya.

“Mas Dani, kaukah itu?” tanya Leoni lagi.

“Iya, Ini aku,” jawabku kemudian. Wajah gadis itu tampak berseri, meskipun gurat-gurat penderitaannya tampak lebih jelas. Ia bermaksud untuk duduk tetapi aku melarangnya.

“Aku ingin bercerita padamu, Mas. Aku ingin melihat wajahmu sementara aku bercerita.”

Leoni tetap bersi keras untuk duduk. Akhirnya aku menuruti permintaannya. Kuletakkan beberapa bantal untuk mengganjal punggungnya agar ia bisa duduk.

“Sudah begitu lama aku menantikan saat ini. Namun aku tidak berani berharap karena kesalahan yang pernah kulakukan padamu. Ketika aku sadar aku keliru menilaimu, aku tenggelam dalam rasa penyesalan yang dalam. Kutinggalkan Bram dan aku masuk biarawati. Menurutku ini adalah cara untuk menebus kesalahanku padamu.” Leoni berhenti sejenak untuk mengambil nafas.

“Selama aku di susteran ini aku selalu berusaha mencari kabarmu, tetapi begitu sulit untuk menemukanmu. Kamu seperti lenyap ditelan bumi. Aku terus mencari sampai akhirnya kudengar dari tante Yuli kamu masuk ke sebuah Sekolah Alkitab di Jakarta. Aku minta tolong pamanku untuk mencari tahu apakah itu benar. Melalui seorang anak buahnya ia berhasil mendapat keterangan, bahwa kamu memang ada di sana,” kembali Leoni menarik nafas dalam-dalam.

“Aku hanya ingin minta maaf kepadamu, Mas. Aku bahagia seandainya Tuhan memberikan penyakit ini sebagai bayaran atas pengkhianatanku kepadamu tujuh tahun yang lalu. Itu sebabnya aku tak pernah berdoa minta kesembuhan kepada-Nya. Aku hanya berdoa agar Tuhan mempertemukanku denganmu sebelum ajalku tiba.”

Kata-kata Leoni terputus karena batuk berkali-kali. Kulihat cairan merah kental mengalir dari mulut dan hidungnya. Aku sedikit panik. Kuambil sapu tanganku dan mengusap darah yang membasahi bibirnya. Kupeluk tubuh kurusnya dengan penuh kekuatiran.

“Tidak Nita! Kamu pasti sembuh,” kataku setengah menjerit. “Aku telah memaafkanmu sejak kita berpisah hari itu. Aku…” Aku tidak meneruskan kata-kataku karena kulihat Leoni memberi isyarat agar aku diam.

“Kamu masih mau mendengarkan aku?” tanya gadis itu setengah berbisik. Aku mengangguk.

Gadis itu hendak melanjutkan ceritanya, namun kembali ia tersengal-sengal. Darah yang mengalir dari hidung dan mulutnya semakin banyak. Matanya berair. Aku tahu ia sengaja menahan rasa sakitnya.

“Sudahlah, Nita. Kamu tak perlu memaksakan diri. Aku tahu kamu sangat menderita karena perpisahan itu. Kita sama-sama menderita. Tapi kita tak perlu mengingatnya lagi. Kamu tahu aku masih selalu mengingatmu. Terus terang aku tak pernah bisa melupakanmu.” Akhirnya luka itu kubuka kembali meskipun hatiku merasa perih, namun aku tak mau Leoni melihatnya. Aku ingin membuatnya senang dan berharap keajaiban terjadi walaupun itu mustahil.

“Maukah, Mas memelukku sekali lagi?” tanyanya dengan wajah sendu.

“Tentu, sayang.” Kugenggam tangannya lalu kupeluk tubuhnya penuh kasih sayang. “Maafkan aku, Ning,” bisikku dalam hati.

“Terima kasih, Mas. Ternyata kamu masih seperti yang dulu..” Aku tergugu melihat telaga bening mengalir di pipinya. Kukuatkan diriku agar air mataku tidak jatuh. Kupeluk dan kupeluk tubuhnya seolah aku tak ingin terpisah dengannya.

Tiba-tiba genggaman tangan Leoni melemah. Aku melepaskan pelukanku. Kulihat wajah gadis itu tersenyum.

“Nita. Nita.” Aku mengguncang-guncang tubuhnya, tetapi ia tak bereaksi lagi. Aku panik sekali. Kupencet bel di sisi tempat tidur berkali-kali. Beberapa detik kemudian seorang dokter dan beberapa perawat berdatangan. Bumi tampak berputar. Langit di atas kepalaku tampak tertutup mendung hitam. Gelap, semua tampak gelap…..

Aku masih berdiri termangu memandangi pusara yang masih merah itu, sementara orang-orang sudah jauh meninggalkan lokasi pemakaman. Aku jongkok dan mengambil setangkai mawar putih lalu kutancapkan di dekat batu nisan. Tak terasa butir-butir air mataku mulai jatuh. Dadaku terasa sesak karena menahan tangis. Badanku gemetar sebelum akhirnya kutumpahkan juga kepedihanku.

“Nita, kenapa harus berakhir seperti ini?” gumamku di sela-sela isak tangisku.

“Andai saja kita tidak pernah berpisah, mungkin kita masih sempat merasakan indahnya rumah mungil yang damai yang pernah kita impikan bersama. Kita masih sempat menanam kembang-kembang di seputar rumah kita. Akh, Nita…”

Aku tak sanggup lagi bersuara. Rongga dadaku terasa semakin sesak. Pandanganku makin kabur karena air mataku semakin deras mengalir. Aku bahkan tidak menyadari kalau seseorang telah memelukku dan membimbingku untuk berdiri.

“Hari sudah hampir malam, Mas. Sebaiknya kita pulang.”

“Susan,” bisikku dengan suara parau. “Kukira kamu sudah pulang bersama mereka.” Susan menggeleng.

“Mbak Nita berpesan sebelum meninggal agar aku menemani Mas selama Mas berada di sini.”

“Aku baik-baik saja,” kataku sambil menyeka wajahku dengan sapu tangan. “Mari kita pulang,” kataku lagi sambil menggandeng tangan Susan meninggalkan pusara gadis kecilku. Samar kudengar lagu yang selalu kunyanyikan sejak aku berpisah dengan Leoni. Kini aku benar-benar kehilangan dia.

Leonie, leonie…

I dream of only you

And it seems you’re somewhere around

with anything I do

with everything I do

Leonie, Leonie…

I dream of my life away

Make believe you’re still around

And dreams of yesterday

Leonie,

You’re flowing on my mind

Like a never ending stream…

Leonie,

I recall the days I’ve spent with you

The little words and things we used to say and do

Leonie,

I can’t get you of my mind

And I wonder, why I’ve lost you…

Semburat warna jingga berbaur dengan warna kelabu mengambang di ufuk barat. Hanya sesaat sebelum gelap benar-benar menenggelamkan sang surya. Seperti waktu yang telah menenggelamkan matahariku untuk selama-lamanya. Kusenandungkan lagu duka itu sekali lagi dan kubiarkan bayangan Leoni berputar-putar di benakku sesaat, sebelum akhirnya aku terlelap dalam mimpi.***(in memoriam : AS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar