SALAM JUMPA

Hai, teman-teman....
Selamat datang di blog puisiku ya... tapi sebenarnya nggak hanya puisi, di sini kamu bisa baca juga cerpen-cerpenku. Pokoknya semua yang bernada curahan hati....Sebagian besar cerita dan puisi melukiskan perjalanan hidupku...Yach, daripada disimpan, mendingan ditulis, biar nggak lupa/hilang. Selamat membaca ya, jangan nangis loh hik hik hik.... :) Boleh di CoPas, tapi kalau untuk tujuan komersil, izin dulu ya...

24 November 2008

SELAMAT NATAL, LEONI...

Leoni,

Selamat Natal.

Kubawa rangkaian bunga putih dan kuletakkan di atas batu nisan yang terbuat dari marmer hitam. Aku membaca sebuah puisi yang dulu pernah kutuliskan untuknya.


Saat engkau takut

Merasa kecil dan tidak berarti

Merasa kesepian dan terasing

Saat tak seorang teman pun yang dapat kau temui

Aku ada di dekatmu

Saat air matamu jatuh

Aku akan menghapusnya

Saat engkau terpuruk di jalanan

Saat kau merasa malam begitu berat mengungkungmu

Dan kepedihan mengelilingimu

Aku akan menemanimu

Menenangkan perasaanmu

Barlayarlah, gadis kecilku…

Berlayarlah sekarang…

Bila kau butuh seorang teman

Aku berlayar tepat di belakangmu…

Aku memeluk sebentar pesirahannya. Walaupun aku tahu ia sekarang sudah berada di sorga, dalam pangkuan Bapa, tapi aku ingin merasakan kehadirannya walau cuma sesaat. Tunggu aku ya, bisikku. Bila tugasku di bumi sudah selesai, aku pasti pulang menjumpaimu, bisikku lagi.

Leoni,

Kalau boleh, aku ingin minta izin kepadamu. Belum lama ini aku berkenalan dengan seorang gadis. Ia mirip denganmu. Lembut, sabar, penuh pengertian, sederhana dan selalu memperhatikanku. Ia benar-benar mengingatkanku padamu. Rambutnya yang panjang, wajahnya yang penuh kasih dan selalu dihiasi senyum. Ia mungil sepertimu, Leoni. Ia selalu memberiku pelayanan yang baik bila aku berkunjung ke rumahnya. Akh, seperti kamu dulu ketika aku datang ke rumahmu. Kamu segera membuatkanku air jeruk kesukaanku.

Pertama aku mengenalnya aku tidak begitu tertarik. Memang sejak kamu meninggal aku tidak ingin menggantikan posisimu dalam hidupku. Aku tak ingin menggesermu dari tahta hatiku. Itu sebabnya aku berusaha untuk menjauhi setiap gadis. Bahkan Ning yang selama ini dekat denganku, kujauhi juga. Aku selalu berdalih bila ia ingin mendekatiku, walaupun itu sekedar untuk makan malam saja. Kamu tahu, Leoni. Sejak saat itu teman-temanku menjulukiku dengan sebutan “cool man,” laki-laki dingin, kampungan dan masih banyak lagi. Tapi aku tidak perduli. Kamu tahu apa sebabnya? Aku selalu teringat kata-katamu sebelum kamu meninggal, bahwa kita akan berkumpul di sorga dalam sebuah keluarga. Sampai suatu ketika pikiranku terbuka, ketika kami sedang belajar Dogmatika tentang sorga dan kehidupan sesudah mati. Rupanya aku keliru kalau menganggap kita bisa menjadi sebuah keluarga seperti di dunia ini. Di sorga kita hidup seperti malaikat, tidak menikah. Jadi tidak ada suami istri di sorga. Aku baru menyadari bila keluarga yang kamu maksud adalah keluarga besar Bapa di sorga. Keluarga kerajaan Allah yang kekal dan penuh kasih.

Leoni,

Suatu siang aku sedang membaca buku di ruang referensi. Aku sedang mencari bahan-bahan untuk melengkapi skripsiku. Tiba-tiba seorang gadis memintaku mencarikan sebuah buku. Setelah mencari begitu lama di rak-rak buku dan tidak menemukannya, kami berniat mencari di tumpukan buku-buku yang baru dibaca dan siap dirapikan. Tapi kami juga tidak menemukannya.

“Tidak mungkin buku itu dipinjam,” gerutu gadis itu.

“Coba cari di katalog buku, siapa tahu memang judul itu tidak ada,” kataku menyarankan.

“Sudah, kok. Buku itu ada dalam daftar.”

“Mungkin dipinjam.”

“Ah, Kakak ini bagaimana, sih. Buku di ruang referensi ‘kan nggak boleh dipinjam.”

“Oh, iya. Kenapa bisa lupa, ya? Padahal aku sudah hampir empat tahun kuliah di sini,” kataku menyalahkan diri sendiri.

Aku kembali ke tempat dudukku dan berniat melanjutkan membaca. Kuangkat buku yang lumayan tebal itu dalam posisi berdiri. Gadis itu duduk di depanku.

“Kakak ini bagaimana, sih. Itu bukunya yang dari tadi kita cari,” tiba-tiba gadis itu berseru tertahan. Ia segera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya, karena di perpustakaan dilarang keras bersuara keras.

“Mana?” tanyaku singkat.

“Itu.” Gadis itu menunjuk buku yang tengah kubaca.

“Theological Dictionary On The New Testament Volume II. Ya, Tuhan. Kenapa aku jadi pikun hari ini,” gerutuku lirih.

Kami berdua tertawa sambil menutup mulut dengan telapak tangan supaya tidak terdengar keluar. Akhirnya kami pun berkenalan. Aku begitu picik sampai tidak mengenal adik-adik kelasku. Aku tersentak ketika menatap wajahnya lekat-lekat. Dia persis kamu, Leoni. Persis! Aku ingat sewaktu ia tersenyum benar-benar membuat dadaku berdesir. Itu senyummu, Leoni.

Akh, mana mungkin. Kita ‘kan tidak percaya reinkarnasi. Mana mungkin kamu hidup lagi ke dunia dalam wujud orang lain. Tidak. Alkitab tidak mengatakan hal itu. Dan kita hanya percaya pada Firman Allah dalam Alkitab kita. Tapi…Dia sungguh-sungguh mirip denganmu, Leoni. Gaya rambutnya, bibirnya yang mungil, alisnya yang tebal, bola matanya yang bening dan caranya berjalan tidak ada bedanya denganmu.

Tidak terasa sudah tiga bulan berlalu sejak perkenalan kami di perpustakaan itu. Kami semakin dekat. Kami mulai berbagi cerita. Dia sepertimu, Leoni. Selalu merasa kesepian dalam rumahnya yang mewah dan keluarganya yang berkelimpahan. Aku ingin membuatnya bahagia, seperti dulu aku selalu membuatmu tertawa dalam setiap kebersamaan kita. Aku ingin menyayanginya, Leoni. Aku ingin mencoba menggantikan posisimu dalam hidupku membiarkannya bertahta di ruang hatiku. Menjadikannya bagian dari diriku. Tapi bukan berarti aku akan melupakanmu begitu saja. Kamu masih tersimpan di sini, di dadaku. Dan kenangan-kenanganmu masih kusimpan di benakku.

Leoni,

Hari ini aku ingin mohon diri darimu. Aku ingin menyuntingnya menjadi kekasihku, boleh ‘kan? Kamu pasti setuju. Dia baik dan kuharap memang dia akan tetap baik. Kamu pasti tidak menghendaki aku tinggal sendiri dan bercinta dengan bayang-bayangmu. Kamu pasti tidak menghendaki aku kesepian dengan menghabiskan sisa hidupku seorang diri, tanpa seorang pendamping hidup.

Aku ingin memberikan segenap kasih sayangku padanya. Dia akan menjadi yang kedua, sesudah Tuhan, yang menjadi prioritas hidupku. Cerita-cerita cintaku, syair-syair dan puisi-puisi cintaku sekarang akan menjadi miliknya. Juga puisi yang tadi kubacakan untukmu, sekarang akan menjadi miliknya. Hari ini aku mohon diri darimu. Selamat tinggal, Leoni. Sampai jumpa di sorga nanti.

Sekali lagi kuucapkan, Selamat Natal,

Leoni….

Kuseka keringat yang membasahi dahiku dengan sapu tangan. Aku beranjak dari pusara Leoni dan bergegas meninggalkan tanah pemakaman itu. Sempat kulihat sekilas beberapa orang yang tengah berziarah memperhatikanku. Aku tidak perduli. Aku segera memacu motorku menuju ke Ungaran. Aku ingin merayakan Natal bersama teman-teman di Bukit Doa Getsemani. Aku ingin merayakan Natal bersama ‘Leoniku’ yang baru. Membuat pohon Natal dan menghiasinya dengan bila-bola plastik. Menyalakan lilin dan menyanyikan kidung-kidung Natal Silent Night, Holy Night,The First Noel atau Twinkle-Twinkle. Aku tersenyum sendiri. Ada satu yang ketinggalan, membunyikan lonceng-lonceng kecil dari perak. Aku merogoh saku jaketku dengan tangan kiri. Kukeluarkan sepasang lonceng kecil dari perak.

“Aku masih menyimpannya, Leoni,” gumamku. Lonceng itu pemberiannya, ketika aku masih bersamanya. Dan aku selalu membunyikannya berdua di dekat pohon Natal pada setiap malam Natal.

“Sekarang aku akan membunyikan lonceng ini bersama penggantimu,” bisikku lagi. Sepanjang jalan Semarang-Ungaran kudengar lagu “Joy to The World” di telingaku. Gembiralah dunia. Gembiralah hatiku. Harapan baru telah datang bersama damai Natal tahun ini. Tunggu aku Elisabet, aku segera datang untukmu….

Ungaran, Desember 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar